Sabtu, 05 Januari 2013

JATILUHURR

TUGAS  TERSTRUKTUR
EKOLOGI PERAIRAN
WADUK JATILUHUR
                                     


                                         Description: unsoed-3d

                                                                                    
Oleh:

Shinta Praningtyas     H1G011013
                                                                                







KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2012
I. PENDAHULUAN
            Waduk merupakan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ruang yang dapat dibagi atas segmen-segmen, yaitu wilayah hulu dan hilir DAS, waduk, serta kawasan sekitarnya. Perairan waduk adalah badan air yang terbentuk karena pembendungan aliran sungai oleh manusia dan karakteristik perairannya sangat dipengaruhi oleh ekologi sungai yang dibendungnya. Waduk Juanda yang biasa juga disebut dengan Waduk Jatiluhur adalah waduk terbesar di daerah aliran sungai Citarum dengan daya tampung air sekitar 2.970 x 106 m3 . Waduk  Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat Kota Purwakarta, Provinsi Jawa Barat ( Ilosangi,2001 ).
            Waduk Jatiluhur dibangun pada saat Pemerintahan RI belum bisa dikatakan mampu secara finansial, yaitu pada tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis dengan potensi air yang tersedia 12,9 miliar m3 per tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia dan dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, untuk mengenang jasa Ir. H. Juanda yang telah memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur. Luas Waduk Jatiluhur 8300 ha dan berada pada ketinggian 120 m diatas permukaan laut, serta tinggi air menurut musiman yaitu 25 m. Di dalam Waduk Jatiluhur terpasang 6 unit turbin dengan daya pasang 187 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1000 juta kwh setiap tahun. Luas daerah aliran Waduk Jatiluhur mencapai 4500 km. Waduk Jatiluhur mulai dioperasikan pada tahun 1967 dan diresmikan oleh Presiden RI ke dua, Soeharto (Effendi, 2003 ).
            Waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna dan memiliki beberapa fungsi diantaranya yaitu:
·         Berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia.
·         Berfungsi sebagai penyediaan air irigasi bagi areal persawahan di dataran Utara Jawa Barat seluas 296.000 ha sawah, sehingga dapat ditanami dua kali dalam setahun. Beberapa sungai yang digunakan dalam jaringan irigasi terpadu diantaranya yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Cikarang, Sungai Bekasi, Sungai Cibeet, Sungai Citarum, Sungai Cilamaya, Sungai Ciasem, Sungai Cipunegara.
·         Air baku air minum, bagi industri dan rumah tangga terutama untuk Kota Jakarta sebesar 700 juta m3 per tahun.
·         Berfungsi sebagai tempat budidaya perikanan tawar, seperti usaha budidaya keramba jaring apung yang memiliki daya tarik tersendiri.
·         Pengendali terjadinya banjir, terutama pada daerah Karawang dan sekitarnya sejak selesainya pembangunan bendungan pembantu pada tahun 1962.
·         Pengembangan pariwisata tirta, yaitu dengan adanya danau buatan 8.300 ha dengan keindahan alamnya serta fasilitas rekreasi dan olahraga yang akan menjadi daya tarik bagi wisatawan ( Ilosangi,2001 )


Description: F:\PENTINGG!!!!\Nta smester 3\EKOPER\data jatiluhur\gambar.JPG
Gambar 1. Waduk Jatiluhur

Proses perencanaan pembangunan Waduk Jatiluhur dimulai dari penetapan lokasi, berdasarkan gagasan awal Prof. Dr. Ir. W.J. Van Blommestein. Desain awal pembangunan Waduk Jatiluhur, dirancang oleh Neyrpic Laboraty sekitar tahun 1953, dengan tipe bendungan urugan batu dengan inti tanah liat. Namun rancangan ini tidak dilanjutkan karena berdasarkan penyelidikan geologi menunjukan bukit tumpuan kanan terdapat sinklin dengan pelapisan yang miring ke arah hilir, sedangkan kondisi geologi lokasi spillway kurang baik sehingga dilakukan pendesaian ulang. Desain terakhir yang digunakan sebagian besar sama dengan desain kedua, hanya saja yang membedakan adalah tapak dan kemiringan inti tanah liat bendungan. Desain terakhir bendungan ini jarak tubuh bendungan dengan bangunan menara menjadi semakin dekat dan inti tanah liat memiliki kemiringan lebih tegak dibandingkan sebelumnya (Ilosangi,2001).










II. PEMBAHASAN
            Waduk Jatiluhur merupakan ekosistem air tawar yang terdapat di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat Kota Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Kondisi perairan di Waduk Jatiluhur dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Faktor tersebut yang mempengaruhi diantaranya yaitu:
1.      Parameter Fisika
Parameter Fisika Waduk Jatiluhur meliputi, temperatur, tingkat kecerahan, kedalaman, kekeruhan, dan zat padat terlarut (TDS). Suhu rata-rata perairan di Waduk Jatiluhur berkisar antara 29-30˚C dengan tingkat kecerahan berkisar antara 125-175 cm. Kedalaman waduk ini adalah 37 m dengan kedalaman maksimum 95 m. Tingkat kekeruhanya berkisar antara 0,3-11 NTU. Nilai TDS rata-rata Waduk Jatiluhur pada musim hujan maupun kemarau cenderung stabil yaitu berkisar antara 87.9mg/L – 116,9mg/L. Dengan kondisi demikian maka dapat dinyatakan bahwa kondisi perairan Waduk Jatiluhur masih baik digunakan untuk kepentingan sumber air minum dan perikanan.
2.      Parameter Kimia
a.       Oksigen Terlarut (DO)
Nilai rata-rata DO di Waduk Jatiluhur yaitu 5,2mg/L dengan kisaran antara 0,7mg/L – 11,2mg/L. Namun pada musim dingin rata-rata DO menjadi lebih tinggi karena input fotosintesis yang lebih besar, sedangkan pada musim kemarau mengalami sedikit penurunan dari musim hujan.
b.      BOD dan COD
Nilai rata-rata BOD Waduk Jatiluhur berkisar antara 0,1- 5,79 mg/L.  Hal ini masih tergolong dalam kondisi yang baik dan sesuai dengan standar baku mutu yang dijinkan. Sedangkan kandungan COD berkisar antara 6,9-172 mg/L.
c.       Derajat keasaman (pH)
Rata-rata pH Waduk Jatiluhur adalah tujuh dengan kisaran 4-12. Pada musim hujan nilai pH rata-ratanya adalah 7,25 dengan kisaran 4,3-12. Sedangkan pada musim kemarau rata-ratanya yaitu 6,75 dengan kisaran 4-9,1. Secara umum nilai rata-rata pH Waduk Jatiluhur masih layak sebagai baku air minum.
d.      Kandungan Orthofosfat
Kandungan orthofosfat dalam suatu perairan juga menggambarkan potensi kesuburan perairan, pada konsentrasi 0,051-0,100mg/L, perairan termasuk kedalam kesuburan yang baik. Berdasarkan penelitian nilai orthofosfat Waduk Jatiluhur yaitu 0,051-0,081 mg/L, sehingga dapat dikategorikan kedalam tingkat kesuburan yang baik, atau dapat dikatakan perairanya subur.
e.       Nitrit ( NO2 )
Nilai rata-rata kandungan nitrit di Waduk Jatiluhur 0.11 mg/L dengan kisaran 0 mg/L – 0,91 mg/L. Pada musim hujan rata-rata berkisar antara 0,09 mg/L, sedangkan pada musim kemarau 0,13 mg/L. Apabila dilihat dari kandungan nitritnya maka perairan Waduk Jatiluhur sudah tidak layak lagi untuk perikanan.
f.       Nitrat ( NO3 )
Nitrat adalah salah satu unsur hara penting bagi organisme produen primer di perairan. Jika organisme produsen sedang aktif melakukan fotosintesis maka kandungan DO akan meningkat. Akibatnya organisme penyusun produsen primer di perairan akan memerlukan nitrat dalam jumlah yang banyak pula sehingga kandungan nitrat yang terukur di air menjadi lebih rendah. Rata-rata kandungan nitrat di Waduk Jatiluhur 0,345mg/L. Pada musim hujan kandungan nitrat 0,33mgL, sedangkan pada musim kemarau 0,36mg/L ( Soetrisno,2003 ).
            Keanekaragaman hayati di perairan Waduk Jatiluhur meliputi ikan dan biota lainnya yang terdapat di dalamnya seperti plankton. Jenis-jenis ikan yang terdapat pada Waduk Jatiluhur diantaranya yaitu Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ), Ikan Mas ( Cyprinus carpio ), Ikan Tawes ( Puntius javanicus ), Ikan Patin ( Pangasionodon hypopthalmus ), Ikan Bandeng ( Chanos chanos ), Ikan Betutu ( Oxeyleotris marmorata ), Ikan Kongo ( Tilapia butikoferi ), Ikan Gabus ( Channa striata ), dan Ikan Sepat jawa ( Trichogaster trichopterus ).  Jenis ikan yang dominan adalah Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ), Ikan Mas ( Cyprinus carpio ), Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus ), Ikan Bandeng ( Chanos chanos ) dan Ikan Gabus (Channa striata ). Sedangkan jenis ikan yang biasa dibudidayakan dengan sistem KJA di Waduk Jatiluhur yaitu, Ikan Mas ( Cyprinus carpio ), Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ),  dan Ikan Bandeng ( Chanos chanos ). Selain sistem budidaya dengan sistem KJA, kegiatan perikanan di Waduk Jatiluhur, yaitu perikanan tangkap berskala kecil dengan menggunakan gill net, jala lempar dan pancing ( Umar,2006 ).
            Salah satu komponen biotik yang penting di perairan selain ikan yaitu plankton. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Waduk Jatiluhur paling sedikit dihuni oleh 32 jenis fitoplankton yang terdiri dari Chlorophyceae, Dynophyceae, Xanthophyceae, Bacillariophyceae, Cryptophyceae, dan Euglenophyceae. Dari keenam kelas tersebut jumlah fitoplankton yang paling sedikit yaitu Xanthophyceae, Cryptophyceae, Euglenophyceae. Kelimpahan fitoplankton di Waduk Jatiluhur berkisar antara 27.779-43.439 ind/ml, hal ini sebanding dengan waduk-waduk pada sungai yang sama yakni Waduk Cirata dan Saguling. Komunitas fitoplankton tersebut berdasarkan kelasnya didominasi oleh Bacillariophyceae (58,3-80,4%), sedangkan berdasarkan genusnya didominasi oleh Synedra  dan Mycrocystis (22,4-33,8%). Selain fitoplankton juga terdapat zooplankton yang terdapat pada Waduk Jatiluhur, diantaranya yaitu protozoa dan rotifera. Disamping itu juga terdapat insekta dan crustacean ( Wijaya,2006 ).
Permasalahan yang timbul pada Waduk Jatiluhur akibat pengelolaan ekosistem waduk yang belum dilaksanakan dengan terpadu dintaranya adalah pencemaran nutrien yang menyebabkan yutrifikasi. Pencemaran nutrien tersebut telah memicu pertumbuhan fitoplankton secara berlebihan sehingga terjadi blooming fitoplankton yang mengganggu kegiatan wisata air dan mengancam keberlanjutan fungsi waduk untuk tempat budidaya perikanan. Nutrien utamanya nitrogen (N) dan fosfor (P) yang terdapat pada Waduk Jatiluhur adalah hasil dekomposisi limbah organik dari kegiatan di sekitar waduk. Limbah organik tersebut masuk ke dalam perairan waduk dalam berbagai bentuk seperti partikel suspensi, koloid dan larutan. Sebagian partikel tersebut akan mengendap dan sebagian lagi akan masuk ke badan air. Limbah organik tersebut jika dibiarkan terus menerus, waduk ini pun akan menjadi eutrofik dan umurnya menjadi pendek, akibat proses sedimentasi bahan organik di dasar (Ilosangi,2001).
Populasi keramba jaring apung (KJA) yang terus meningkat di kawasan Waduk Jatiluhur juga merupakan permasalahan yang harus segera ditangani. Jika kondisi demikian dibiarkan berlangsung terus menerus maka mutu air waduk jatiluhur akan semakin buruk. Disamping itu juga menyebabkan korosi pada pintu pelimpas yang seluruhnya terbuat dari besi dan kematian masal ikan budidaya keramba jaring apung karena adanya pembalikan massa air. Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, seharusnya unit KJA yang beroperasi dikurangi setiap tahunnya karena semakin lama beroperasi dengan jumlah yang semakin banyak, maka akumulasi bahan organik di dasar perairan akan semakin banyak ( Nugraheni.2001 ).
III. PENUTUP
            Waduk Jatiluhur, terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat Kota Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Waduk Jatiluhur merupakan waduk terbesar di Indonesia dan dimanfaatkan untuk berbagai hal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kondisi perairan Waduk Jatiluhur sampai saat ini masih baik untuk digunakan sebagai sumber air minum dan kegiatan perikanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi perairan Waduk Jatiluhur meliputi parameter fisika dan kimia yang terdapat pada waduk tersebut. Keanekaragaman hayati yang terdapat pada Waduk Jatiluhur meliputi berbagai jenis ikan dan biota yang terdapat di dalamnya.


           





DAFTAR PUSTAKA
Effendi,H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanius. Jakarta
Ilosangi,E.S. 2001. “Evaluasi Kualitas Air Waduk Jatiluhur Selama Periode 1996-2000” , Skripsi, Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor.
Nugraheni, N. 2001. “ Pengkajian Kualitas Perairan Wilayah Karamba Jaring Apung Waduk Jatilihur “. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor.
Soetrisno,Yudhi. 2003. Status Perairan Waduk Juanda. Vol. 4. Hal:128-13
Umar, C. 2006. Keanekaragaman Jenis Ikan dan Produksi Tangkapan Di Perairan Waduk Ir. H. Djuanda Jatiluhur. Vol. 4. Hal: 77-84.
Wijaya, Indra. 2006. “ Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Jatiluhur Untuk Perikanan dan Wisata Tirta di Kabupaten Puewakarta “. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor.






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar