TUGAS
TERSTRUKTUR
EKOLOGI PERAIRAN
WADUK JATILUHUR
Oleh:
Shinta
Praningtyas H1G011013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2012
I. PENDAHULUAN
Waduk merupakan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipandang
sebagai suatu kesatuan sistem ruang yang dapat dibagi atas segmen-segmen, yaitu
wilayah hulu dan hilir DAS, waduk, serta kawasan sekitarnya. Perairan waduk
adalah badan air yang terbentuk karena pembendungan aliran sungai oleh manusia
dan karakteristik perairannya sangat dipengaruhi oleh ekologi sungai yang
dibendungnya. Waduk Juanda yang biasa juga disebut dengan Waduk Jatiluhur adalah waduk terbesar di
daerah aliran sungai Citarum dengan daya tampung air sekitar 2.970 x 106 m3
. Waduk Jatiluhur terletak di
Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat
Kota Purwakarta, Provinsi Jawa Barat ( Ilosangi,2001 ).
Waduk Jatiluhur dibangun pada saat Pemerintahan RI belum
bisa dikatakan mampu secara finansial,
yaitu pada tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis dengan potensi air yang
tersedia 12,9 miliar m3 per tahun dan merupakan waduk serbaguna
pertama di Indonesia. Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di
Indonesia dan dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, untuk mengenang
jasa Ir. H. Juanda yang telah memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan
Jatiluhur. Luas Waduk Jatiluhur 8300 ha dan berada pada ketinggian 120 m diatas
permukaan laut, serta tinggi air menurut musiman yaitu 25 m. Di dalam Waduk
Jatiluhur terpasang 6 unit turbin dengan daya pasang 187 MW dengan produksi
tenaga listrik rata-rata 1000 juta kwh setiap tahun. Luas daerah aliran Waduk
Jatiluhur mencapai 4500 km. Waduk Jatiluhur mulai dioperasikan pada tahun 1967
dan diresmikan oleh Presiden RI ke dua, Soeharto (Effendi, 2003 ).
Waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna dan memiliki
beberapa fungsi diantaranya yaitu:
·
Berfungsi sebagai PLTA dengan sistem
limpasan terbesar di dunia.
·
Berfungsi sebagai penyediaan air irigasi
bagi areal persawahan di dataran Utara Jawa Barat seluas 296.000 ha sawah,
sehingga dapat ditanami dua kali dalam setahun. Beberapa sungai yang digunakan
dalam jaringan irigasi terpadu diantaranya yaitu Sungai Ciliwung, Sungai
Cikarang, Sungai Bekasi, Sungai Cibeet, Sungai Citarum, Sungai Cilamaya, Sungai
Ciasem, Sungai Cipunegara.
·
Air baku air minum, bagi industri dan rumah tangga terutama untuk Kota
Jakarta sebesar 700 juta m3 per tahun.
·
Berfungsi sebagai tempat budidaya
perikanan tawar, seperti usaha budidaya keramba jaring apung yang memiliki daya
tarik tersendiri.
·
Pengendali terjadinya banjir, terutama
pada daerah Karawang dan sekitarnya sejak selesainya pembangunan bendungan pembantu
pada tahun 1962.
·
Pengembangan pariwisata tirta, yaitu
dengan adanya danau buatan 8.300 ha dengan keindahan alamnya serta fasilitas
rekreasi dan olahraga yang akan menjadi daya tarik bagi wisatawan (
Ilosangi,2001 )
Gambar 1. Waduk Jatiluhur
Proses
perencanaan pembangunan Waduk Jatiluhur dimulai dari penetapan lokasi,
berdasarkan gagasan awal Prof. Dr. Ir. W.J. Van Blommestein. Desain awal
pembangunan Waduk Jatiluhur, dirancang oleh Neyrpic Laboraty sekitar tahun
1953, dengan tipe bendungan urugan batu dengan inti tanah liat. Namun rancangan
ini tidak dilanjutkan karena berdasarkan
penyelidikan geologi menunjukan bukit tumpuan kanan terdapat sinklin dengan
pelapisan yang miring ke arah
hilir, sedangkan kondisi geologi lokasi spillway kurang baik sehingga dilakukan
pendesaian ulang. Desain terakhir yang digunakan sebagian besar sama dengan
desain kedua, hanya saja yang membedakan adalah tapak dan kemiringan inti tanah
liat bendungan. Desain terakhir bendungan ini jarak tubuh bendungan dengan
bangunan menara menjadi semakin dekat dan inti tanah liat memiliki kemiringan
lebih tegak dibandingkan sebelumnya (Ilosangi,2001).
II.
PEMBAHASAN
Waduk Jatiluhur
merupakan ekosistem air tawar yang terdapat di Kecamatan Jatiluhur,
Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat Kota Purwakarta,
Provinsi Jawa Barat. Kondisi
perairan di Waduk Jatiluhur dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor. Faktor tersebut
yang mempengaruhi diantaranya yaitu:
1.
Parameter Fisika
Parameter Fisika Waduk Jatiluhur meliputi, temperatur,
tingkat kecerahan, kedalaman, kekeruhan, dan zat padat terlarut (TDS). Suhu
rata-rata perairan di Waduk Jatiluhur berkisar antara 29-30˚C dengan tingkat
kecerahan berkisar antara 125-175 cm. Kedalaman waduk ini adalah 37 m
dengan kedalaman maksimum 95 m. Tingkat kekeruhanya berkisar antara 0,3-11 NTU.
Nilai TDS rata-rata Waduk Jatiluhur pada musim hujan maupun kemarau cenderung
stabil yaitu berkisar antara 87.9mg/L – 116,9mg/L. Dengan kondisi demikian maka
dapat dinyatakan bahwa kondisi perairan Waduk Jatiluhur masih baik digunakan
untuk kepentingan sumber air minum dan perikanan.
2.
Parameter Kimia
a. Oksigen
Terlarut (DO)
Nilai rata-rata DO di Waduk
Jatiluhur yaitu 5,2mg/L dengan kisaran antara 0,7mg/L – 11,2mg/L. Namun pada
musim dingin rata-rata DO menjadi lebih tinggi karena input fotosintesis yang
lebih besar, sedangkan pada musim kemarau mengalami sedikit penurunan dari
musim hujan.
b. BOD
dan COD
Nilai rata-rata BOD Waduk
Jatiluhur berkisar antara 0,1- 5,79 mg/L.
Hal ini masih tergolong dalam kondisi yang baik dan sesuai dengan standar
baku mutu yang dijinkan. Sedangkan kandungan COD berkisar antara 6,9-172 mg/L.
c. Derajat
keasaman (pH)
Rata-rata pH Waduk Jatiluhur
adalah tujuh dengan kisaran 4-12. Pada musim hujan nilai pH rata-ratanya adalah
7,25 dengan kisaran 4,3-12. Sedangkan pada musim kemarau rata-ratanya yaitu
6,75 dengan kisaran 4-9,1. Secara umum nilai rata-rata pH Waduk Jatiluhur masih
layak sebagai baku air minum.
d. Kandungan
Orthofosfat
Kandungan orthofosfat dalam suatu perairan juga
menggambarkan potensi kesuburan perairan, pada konsentrasi 0,051-0,100mg/L,
perairan termasuk kedalam kesuburan yang baik. Berdasarkan penelitian nilai orthofosfat Waduk Jatiluhur yaitu
0,051-0,081 mg/L, sehingga dapat dikategorikan kedalam tingkat kesuburan yang
baik, atau dapat dikatakan perairanya subur.
e. Nitrit
( NO2 )
Nilai rata-rata kandungan nitrit
di Waduk Jatiluhur 0.11 mg/L dengan kisaran 0 mg/L – 0,91 mg/L. Pada musim
hujan rata-rata berkisar antara 0,09 mg/L, sedangkan pada musim kemarau 0,13 mg/L.
Apabila dilihat dari kandungan nitritnya maka perairan Waduk Jatiluhur sudah
tidak layak lagi untuk perikanan.
f. Nitrat
( NO3 )
Nitrat adalah salah satu unsur
hara penting bagi organisme produen primer di perairan. Jika organisme produsen
sedang aktif melakukan fotosintesis maka kandungan DO akan meningkat. Akibatnya
organisme penyusun produsen primer di perairan akan memerlukan nitrat dalam
jumlah yang banyak pula sehingga kandungan nitrat yang terukur di air menjadi
lebih rendah. Rata-rata kandungan nitrat di Waduk Jatiluhur 0,345mg/L. Pada
musim hujan kandungan nitrat 0,33mgL, sedangkan pada musim kemarau 0,36mg/L (
Soetrisno,2003 ).
Keanekaragaman
hayati di perairan Waduk Jatiluhur meliputi ikan dan biota lainnya yang
terdapat di dalamnya seperti plankton. Jenis-jenis ikan yang terdapat pada Waduk Jatiluhur diantaranya
yaitu Ikan Nila ( Oreochromis niloticus
), Ikan Mas ( Cyprinus carpio ), Ikan
Tawes ( Puntius javanicus ), Ikan
Patin ( Pangasionodon hypopthalmus ), Ikan Bandeng ( Chanos chanos ), Ikan Betutu ( Oxeyleotris marmorata ), Ikan Kongo ( Tilapia butikoferi ), Ikan Gabus ( Channa striata ), dan Ikan Sepat jawa ( Trichogaster trichopterus ). Jenis ikan yang dominan adalah Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ), Ikan Mas ( Cyprinus carpio ), Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus ), Ikan Bandeng ( Chanos
chanos ) dan Ikan Gabus (Channa
striata ). Sedangkan jenis ikan yang biasa dibudidayakan dengan sistem KJA
di Waduk Jatiluhur yaitu, Ikan Mas ( Cyprinus
carpio ), Ikan Nila ( Oreochromis
niloticus ), dan Ikan Bandeng ( Chanos chanos ). Selain sistem budidaya dengan
sistem KJA, kegiatan perikanan di Waduk Jatiluhur, yaitu perikanan tangkap
berskala kecil dengan menggunakan gill net, jala lempar dan pancing ( Umar,2006
).
Salah satu
komponen biotik yang penting di perairan selain ikan yaitu plankton. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan Waduk Jatiluhur paling sedikit dihuni oleh 32
jenis fitoplankton yang terdiri dari Chlorophyceae, Dynophyceae, Xanthophyceae, Bacillariophyceae, Cryptophyceae,
dan Euglenophyceae. Dari keenam kelas tersebut jumlah fitoplankton yang paling
sedikit yaitu Xanthophyceae, Cryptophyceae, Euglenophyceae. Kelimpahan fitoplankton di
Waduk Jatiluhur berkisar antara 27.779-43.439 ind/ml, hal ini sebanding dengan
waduk-waduk pada sungai yang sama yakni Waduk Cirata dan Saguling. Komunitas
fitoplankton tersebut berdasarkan kelasnya didominasi oleh Bacillariophyceae
(58,3-80,4%), sedangkan berdasarkan genusnya didominasi oleh Synedra dan Mycrocystis
(22,4-33,8%). Selain fitoplankton juga terdapat zooplankton yang terdapat
pada Waduk Jatiluhur, diantaranya yaitu protozoa dan rotifera. Disamping itu
juga terdapat insekta dan crustacean ( Wijaya,2006 ).
Permasalahan yang timbul pada Waduk Jatiluhur akibat pengelolaan
ekosistem waduk yang belum dilaksanakan dengan terpadu dintaranya adalah pencemaran
nutrien yang menyebabkan yutrifikasi. Pencemaran nutrien tersebut telah memicu
pertumbuhan fitoplankton secara berlebihan sehingga terjadi blooming
fitoplankton yang mengganggu kegiatan wisata air dan mengancam keberlanjutan
fungsi waduk untuk tempat budidaya perikanan. Nutrien utamanya nitrogen (N) dan
fosfor (P) yang terdapat pada Waduk Jatiluhur adalah hasil dekomposisi limbah
organik dari kegiatan di sekitar waduk. Limbah organik tersebut masuk ke dalam
perairan waduk dalam berbagai bentuk seperti partikel suspensi, koloid dan larutan. Sebagian partikel
tersebut akan mengendap dan sebagian lagi akan masuk ke badan air. Limbah
organik tersebut jika dibiarkan terus menerus, waduk ini pun akan menjadi
eutrofik dan umurnya menjadi pendek, akibat proses sedimentasi bahan organik di
dasar (Ilosangi,2001).
Populasi keramba jaring apung (KJA) yang terus meningkat di kawasan
Waduk Jatiluhur juga merupakan permasalahan yang harus segera ditangani. Jika
kondisi demikian dibiarkan berlangsung terus menerus maka mutu air waduk
jatiluhur akan semakin buruk. Disamping itu juga menyebabkan korosi pada pintu
pelimpas yang seluruhnya terbuat dari besi dan kematian masal ikan budidaya
keramba jaring apung karena adanya pembalikan massa air. Untuk mencegah
kejadian serupa terulang kembali, seharusnya unit KJA yang beroperasi dikurangi
setiap tahunnya karena semakin lama beroperasi dengan jumlah yang semakin banyak,
maka akumulasi bahan organik di dasar perairan akan semakin banyak (
Nugraheni.2001 ).
III.
PENUTUP
Waduk Jatiluhur, terletak
di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, tepatnya terletak 9 km dari pusat
Kota Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Waduk Jatiluhur merupakan waduk terbesar
di Indonesia dan dimanfaatkan untuk berbagai hal. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan kondisi perairan Waduk Jatiluhur sampai saat ini masih baik
untuk digunakan sebagai sumber air minum dan kegiatan perikanan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi perairan Waduk Jatiluhur meliputi parameter fisika
dan kimia yang terdapat pada waduk tersebut. Keanekaragaman hayati yang
terdapat pada Waduk Jatiluhur meliputi berbagai jenis ikan dan biota yang
terdapat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,H.
2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit
Kanius. Jakarta
Ilosangi,E.S.
2001. “Evaluasi Kualitas Air Waduk Jatiluhur Selama Periode 1996-2000” , Skripsi, Fakultas Perikanan dan Kelautan
IPB Bogor.
Nugraheni,
N. 2001. “ Pengkajian Kualitas Perairan Wilayah Karamba Jaring Apung Waduk
Jatilihur “. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Kelautan IPB Bogor.
Soetrisno,Yudhi. 2003. Status Perairan Waduk Juanda. Vol. 4.
Hal:128-13
Umar,
C. 2006. Keanekaragaman Jenis Ikan dan Produksi Tangkapan Di Perairan
Waduk Ir. H. Djuanda Jatiluhur. Vol. 4. Hal: 77-84.
Wijaya,
Indra. 2006. “ Nilai Ekonomi Pemanfaatan Waduk Jatiluhur Untuk Perikanan dan
Wisata Tirta di Kabupaten Puewakarta “. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar